Oleh Yunni Touresia
sumber:eramuslim.com
Teringat saat pertemuan kami untuk pertama kalinya, suatu sore di
bulan Ramadhan yang cerah di tahun 2002. Ifthor yang paling berkesan
sepanjang kenangan di kepala saya.
Pertemuan pertama saya dengan Abi,
panggilan sayang saya untuk suami tercinta. Melalui proses yang cukup
singkat, ta’aruf, bertemu orang tua sekaligus khitbah hingga Walimatul ‘Ursy, hanya memakan waktu tak lebih dari dua bulan. Subhanalloh…
Mungkin karena proses singkat itulah, menyebabkan kami berdua sampai
saat ini masih menjalani proses yang namanya ‘pengenalan diri lebih
dalam’. Karena selalu ada hal-hal baru yang kami berdua temukan.
Sehingga kalimat pemakluman sering kali benar-benar diperlukan. Kalau
tidak, maka akan ada kesedihan yang tertoreh karenanya. Akan ada derai
airmata yang menghujani malam-malam saya, setiap saya merasa di
‘acuhkan’.
Sebagai seorang wanita, saya sudah menepis harapan untuk sosok
romantis yang selalu bisa hadir di setiap momen penting dalam hidup
saya. Karena untuk Abi, jangankan mengingat tanggal anniversary kami, atau ulang tahun saya. Ulang tahunnya sendiri saja beliau selalu terlupa.
“ Mi, nih kado untuk siapa ya?” ujar Abi suatu kali ketika saya
memberikan sebuah kado di hari ulang tahun beliau. Sengaja kado
tersebut saya letakkan di atas baju gantinya. Nampak sekali kebingungan
yang sangat melingkupi wajahnya. Saya menyuruhnya menebak. Sia-sia!
Tidak ada jawaban benar yang keluar dari lisannya.
“ Came on, Honey. Today is your birthday, remember?!” ujar saya akhirnya setengah berteriak. Mengusir keraguan diwajahnya ketika memegang kado tersebut. “ Oooh…, makasih, ya, mi” balas beliau dengan datar. Saya hanya tersenyum kecut melihat reaksinya.
Itulah si Abi! Yang baginya seperti tak ada ‘tanggal bersejarah’ yang seharusnya diberlakukan ‘special’. Iiih, gemeeessss ….
Saya termasuk orang yang cenderung perfectionist,
segala sesuatu harus nampak rapi dan indah dalam pandangan. Saya akan
mencari sesuatu sampai dapat, hingga apa yang saya inginkan tercapai.
Sedangkan Abi, terbiasa dengan tampilan seadanya dan tak perlu
mencari-cari bila tidak ada. Saya hanya akan keluar rumah dengan baju
dan jilbab dengan warna senada, sedangkan Abi bisa pergi dengan baju
apa yang dia dapatkan di lemari, walaupun ‘tabrak warna’ istilahnya.
Saya selalu berusaha menyiapkan semua makanan dalam kondisi hangat,
untuk beliau santap ketika makan, tetapi beliau justru lebih senang
makan dengan lauk yang sudah dingin di atas meja. Saya menganggapnya
keterlaluan, Abi bilang biasa. Saya bilang di cuekin, Abi menganggapnya
beri waktu tuk berpikir. Kalau saya bilang nanti dulu, beliau bilang
sekarang saja, jangan ditunda. Kalau saya minta segera, beliau bilang
pelan pelan, asal sampai dan selamat. Ya…, gitu deh…
Bagaimanapun, proses pengenalan diri terus berlangsung. Berat sekali
di awal, tertatih-tatih di perjalanan. Butuh perjuangan mencoba tuk
menggapai sebuah pegangan yang bernama pengertian. Tetapi kami terus
coba menggapainya tuk satu keyakinan bahwa sebenarnya hanya dari
pengertian-pengerti an itulah yang nantinya, dapat membuat pijakan lebih
kuat dalam setiap langkah kami. Tak ada lagi wajah sedih, tak ada lagi
senyum curiga. Bahkan sekarang pandangan yang terpancarpun selalu
membuahkan rasa cinta. “Falling in love at every sight”, pokoknya …
Insya Allah, besarnya cinta yang saya punya, sama besarnya
dengan cinta si Abi pada saya. Hanya saja, beliau bisa mengemasnya
dalam bungkus yang lebih sederhana. Yang kini, justru, karena bungkus
yang sederhana itulah, membuat saya benar-benar jatuh cinta padanya.
Semoga Allah SWT berkenan mengekalkan cinta kami hingga ke JannahNya kelak. Amiin…
*sebuah catatan untuk kekasih hatiku. Met’ Ultah ya, cintaaa….;)
http://yunnytouresi a.multiply. com
This entry was posted on 12:22 AM and is filed under
love love
. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
0 comments: